I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia
merupakan Negara kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 2/3 dari
seluruh luas wilayah Indonesia. Luas perairan yang mencapai 5,8 juta km2
yang terbagi atas perairan teritorial 0,3 juta km2, perairan nusantara
2,8 juta km2 dan zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 2,7 juta km2.
Dari data yang diperoleh, pemanfaatan potensi sumber daya perikanan di wilyah
Indonesia baru mencapai setengah dari potensi lestari yang dimiliki.
Berdasarkan hasil evaluasi, potensi lestari sumber daya perikanan mencapai
kurang lebih 4,5 juta ton/tahun dan potensi ZEE sebesar 2,1 juta ton/tahun
(Dahuri, 2000).
Walaupun dengan
wilayah perairan yang luas potensi dan sumber daya hayati yang terkandung
didalamnya masih belum dimanfaatkan secara optimal. Sumber daya hayati (ikan)
merupakan bagian dari sumber daya alam yang memberikan andil sebagai penghasil
devisa negara. Mengingat
perikanan Indonesia terdiri dari beberapa jenis dan beragam (multi-species), maka pengembangan yang
mengacu pada peningkatan produksi (perikanan tangkap) mempunyai peluang yang
sangat besar untuk dikembangkan.
Sebagian besar masyarakat pesisir,
menjadikan perikanan sebagai tulang punggung (back tone) dari pertumbuhan
ekonomi di wilayah pesisir dan sumber penghasilan masyarakat serta sebagai asset
bangsa yang penting. Oleh karena itu, ketersediaan dan keseimbangan (sustainability)
dari sumberdaya alam ini menjadi sangat krusial bagi kelangsungan pembangunan ekonomi
dan akan sangat targantung dari pengelolaan yang baik setiap stakeholder yakni masyarakat dan
pemerintah.
Salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan pendapatan nelayan antara lain dengan meningkatkan produksi
hasil tangkapannya. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi tersebut adalah
dengan mengusahakan unit penangkapan yang produktif, yakni yang tinggi dalam
jumlah dan nilai hasil tangkapannya. Selain itu, unit penangkapan tersebut
haruslah bersifat ekonomis, efisien dan menggunakan teknologi yang sesuai
dengan kondisi setempat serta tidak merusak kelestarian sumberdaya perikanan.
Berhasil
tidaknya suatu alat tangkap dalam operasi penangkapan sangatlah bergantung pada
bagaimana mendapatkan daerah penangkapan yang baik, potensi perikanan yang ada
dan bagaiman operasi penangkapan dilakukan. Beberapa cara dilakukan dalam upaya
penangkapan diantaranya dengan menggunakan alat bantu penangkapan. Macam-macam
alat bantu penangkapan yang umum digunakan dalam operasi penangkapan ikan di
Indonesia diantaranya dengan menggunakan rumpon dan cahaya lampu.
Salah satu bentuk teknologi penangkapan
ikan yang dianggap sukses dan berkembang dengan pesat pada industri penangkapan
ikan sampai saat ini adalah penggunaan alat bantu cahaya untuk menarik
perhatian ikan dalam proses penangkapan (Nikonorov, 1975; Arimoto, 1999;
Baskoro, 2001; Baskoro dan Suherman, 2007).
Bagan merupakan
salah satu alat tangkap yang menggunakan alat bantu cahaya. Menurut Brandt
(1984), bagan diklasifikasikan kedalam lift
net atau jaring angkat yang dalam pengoperasiannya menggunakan aktraktor
cahaya lampu sehingga ikan yang menjadi tujuan penangkapannya adalah ikan yang
berfototaksis positif.
1.2. Perumusan masalah
Alat tangkap bagan merupakan salah satu jenis
alat tangkap yang cukup banyak digunakan di Indonesia.
Banyaknya penggunaan alat tangkap bagan tidak lepas dari perkembangan wilayah,
kemudahan teknologi, tingkat investasi yang rendah, dan metode penangkapan yang
bersifat one day fishing. Selain hal-hal teknis tersebut, tingginya
penggunaan bagan juga disebabkan tingkat efektivitas unit penangkapan bagan untuk
menangkap ikan-ikan pelagis.
Dari sekian banyak
keunggulan penggunaan unit penangkapan bagan baik dari sisi teknologi maupun
metode pengoperasian tidak serta merta memberikan perubahan yang signifikan
terhadap peningkatan hasil tangkapan terlebih terhadap peningkatan pendapatan
serta perekonomian nelayan. Untuk itu maka diperlukan suatu kajian terhadap cara pengoperasian serta faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi jumlah hasil tangkapan pada alat tangkap bagan tancap.
1.3. Tujuan
Mengetahui cara pengoperasian serta faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi jumlah hasil tangkapan pada alat tangkap bagan tancap.
1.4. Manfaat
Melalui makalah ini diharapkan dapat memberikan
manfaat yang besar bagi perkembangan kegiatan penangkapan dengan menggunakan
alat tangkap bagan tancap, khususnya yang menyangkut efektivitas penangkapan.
Selain itu, makalah ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
kondisi perikanan bagan tancap baik secara teknis maupun ekonomi.
II. PEMBAHASAN
2.1. Alat Tangkap Bagan
Bagan adalah salah satu jenis alat
tangkap yang digunakan nelayan di tanah air untuk menangkap ikan pelagis kecil,
pertama kali diperkenalkan oleh nsingkat
alat tangkap tersebut telah dikenal di seluruh Indonesia. Bagan dalam
perkembangannya telah banyak mengalami perubahan baik bentuk maupun ukuran yang
dimodofikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan daerah penangkapannya.
Berdasarkan cara pengoperasiannya bagan dikelompokkan dalam jaring angkat (lift net), namun karena menggunakan
cahaya lampu untuk mengumpulkan ikan maka disebut juga light fishing (Subani dan
Barus, 1972; Baskoro dan Suherman, 2007).
Menurut
Baskoro dan Suherman
(2007), bagan dapat diklasifisikan menjadi dua, yaitu bagan tancap dan bagan
apung. Bagan tancap merupakan bagan yang dipasang dengan jalan menancapkan
rangka badan kedalam perairan sehingga posisi bagan tancap hanya dapat sekali
ditanam dan tidak dapat dipindah-pindah selama musim penangkapan. Operasi
penangkapan bagan tancap dilakukan pada malam hari. Sebagian besar menggunakan
cahaya yang berasal dari petromaks, walaupun ada juga yang menggunakan lampu
listirk.
Gambar 1. Contoh
bangunan bagan tancap
2.2. Cara Pengoperasian Bagan Tancap
Pengoperasian bagan dimulai
dengan menurunkan atau menenggelamkan waring ke dalam perairan hingga kedalaman
tertentu. Selanjutnya lampu petromaks dinyalakan untuk memikat perhatian ikan
agar berkumpul di sekitar bagan. Apabila kelompok ikan telah terkumpul di pusat
cahaya, sebagian lampu diangkat atau dimatikan agar kelompok ikan yang terkumpul
tidak menyebar kembali. Setelah kelompok ikan terkumpul secara sempurna maka
waring diangkat secara perlahan-lahan. Pada saat waring mendekati permukaan,
kecepatan penangkapan lebih ditingkatkan lagi, selanjutnya ikan ditangkap
dengan menggunakan serok (Subani dan Barus, 1972; Baskoro dan Suherman, 2007).
Keterangan
:
a. Bagan siap operasi;
b.
Setting waring;
c. Penurunan petromaks;
d.
Pengangkatan petromaks;
e. Hauling; dan
f. Pengambilan hasil tangkapan.
Gambar 2.
Proses pengoperasian bagan tancap di Kabupaten Serang.
Proses penangkapan dengan bagan
meliputi beberapa tahap, mulai dari munculnya gerombolan ikan di daerah
penangkapan, rangsangan cahaya oleh lampu, reaksi ikan saat jaring terangkat
sampai dengan tertangkapanya ikan (Baskoro, 1999).
Menurut penelitian Lee (2010), Pengoperasian unit
penangkapan bagan dimulai dengan persiapan pada pukul 16.00 WIB. Persiapan yang
dilakukan meliputi menyiapkan bahan bakar minyak (solar dan besin) kurang lebih
6 liter, membersihkan kaca, tudung dan kaos petromaks, serta persiapan
keperluan perbekalan nelayan terutama konsumsi.
Setelah persiapan perlengkapan selesai kemudian sekitar
pukul 17.00 WIB nelayan menuju kapal yang berlabuh di Pelabuhan Perikanan
Pantai Karangantu. Setiap kapal bagan umumnya digunakan oleh satu kelompok yang
berjumlah 9 hingga 11 orang nelayan. Kapal berangkat dari fishing base di
PPP Karangantu menuju fishing ground, dengan waktu perjalanan 30 hingga
45 menit (Lee, 2010).
Bagan
mulai dioperasikan mulai pukul 18.00 WIB. Pengoperasian bagan dimulai dengan
menurunkan waring secara perlahan-lahan hingga kedalaman maksimum, biasanya
12-15 meter. Setelah waring selesai diturunkan nelayan mempersiapkan petromaks
untuk dinyalakan (Lee, 2010).
Kegiatan
selanjutnya adalah menurunkan petromaks satu persatu dan menggantungnya tepat di
bawah bangunan bagan (Gambar 2 Bagian c). Penggantungan dilakukan sedemikian
rupa sehingga petromaks berada kurang lebih 50 cm hingga 100 cm di atas
permukaan air. Setelah semua terpasang pada posisinya nelayan kemudian menunggu
dan memperhatikan kondisi lingkungan (cahaya petromaks, arus, angin dan
kedatangan ikan). Setelah 1 (satu) jam biasanya tekanan petromaks ditambah
dengan memompanya sehingga cahayanya stabil dan tidak redup (Lee, 2010).
Proses
hauling rata-rata dilakukan setelah 2-3 jam setelah setting,
namun patokan waktu ini tidak selalu sama tergantung kondisi ikan, bila sebelum
2 jam ikan telah datang nelayan akan mengangkat jaring, begitu juga sebaliknya.
Proses hauling dimulai dengan mengurangi jumlah petromaks dari 4 unit
menjadi 2 unit. Hal ini dilakukan untuk mengonsentrasikan ikan disekitar cahaya
(petromaks). Setelah itu, lampu yang tersisa diangkat menjauhi permukaan air
dengan cara menarik tali penggantung petromaks, sedemikian rupa sehingga
petromaks tepat ada di bawah bangunan bagan dengan jarak sekitar 100 cm. Proses
selanjutnya adalah penarikan waring, proses ini dimulai dengan memutar roller
secara perlahan-lahan, hal ini dilakukan agar ikan tidak terkejut dan
meloloskan diri dari waring. Putaran roller semakin dipercepat pada saat
waring mendekati permukaan air, hal ini bertujuan untuk mengurangi jumlah ikan
yang lolos karena ikan mengetahui ada benda asing yang bergerak mendekatinya. Roller
terus diputar hingga bingkai waring menyentuh lantai/rangka bagan bagian
atas (Lee, 2010).
Proses
terakhir dari pengoperasian bagan adalah memindahkan hasil tangkapan yang
berada di waring ke keranjang (gendut) dengan menggunakan serok. Setelah
itu, ikan yang tertangkap dikelompokkan berdasarkan jenisnya masing-masing.
Proses pengoperasian bagan diulangi hingga 4-5 kali setting setiap
malamnya (Lee, 2010).
2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil
Tangkapan Bagan Tancap
Faktor-faktor yang mempengaruhi
hasil tangkapan bagan tancap selain faktor lingkungan antara lain:
1. Intensitas cahaya
Menurut Ayodhyoa (1981),
menyebutkan bahwa peristiwa tertariknya ikan di bawah cahaya dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu :
a.
Peristiwa langsung,
yaitu ikan tertarik oleh cahaya lalu berkumpul. Hal ini berhubungan langsung
dengan peristiwa fototaksis.
b.
Peristiwa tidak
langgsung, yaitu karena ada cahaya maka plankton, ikan-ikan kecil dan lain-lain
sebagainya berkumpul, lalu ikan yang dimaksud datang berkumpul dengan tujuan
mencari makan (feeding). Beberapa
jenis ikan yang termasuk dalam kategori ini seperti ikan tengiri, selar dan
lain-lain.
Hasil
penelitian terhadap ikan hias karang jenis kepe-kepe menunjukan pola pergerakan
pigmen ikan belum berpengaruh secara penuh terhadap iluminasi intensitas cahaya
yang rendah. Namun pada intensitas cahaya yang tinggi baru terlihat adanya
adaptasi pigmen ikan. Kemungkinan penerapan hasil penelitian ini untuk menarik
jenis ikan dilapangan adalah pada intensitas sekitar 350 lux, sedangkan untuk
mengkonsentrasikan ikan ini pada alat tangkap lift net perlu digunakan cahaya
dengan intensitas rendah sekitar 38 lux (Baskoro dan Suherman, 2007).
Hal ini
sesuai dengan penelitian dari made (2006), yang menyatakan bahwa ikan mempunyai
kesenangan terhadap intensitas cahaya tertentu, atau intensitas cahaya optimum
dan berbeda-beda setiap jenis ikan, sehingga penambahan intensitas cahaya
melebihi optimum justru menurunkan hasil tangkapan.
2. warna lampu
Penelitian mengenai pengaruh
warna cahaya terhadap hasil tangkapan cumi-cumi pada perikanan bagan tancap di
perairan Suradadi Kabupaten Tegal menunjukan bahwa cahaya putih memberikan
pengaruh terhadap hasil tangkapan cumi-cumi, di mana cahaya putih memberikan
hasil tangkapan terbaik dibandingkan dengan penggunaan warna biru dan merah. Cahaya
merah dengan daya tembus yang rendah tampaknya kurang efektif digunakan sebagai
pengumpul cumi-cumi dalam satu area yang luas, sedangkan cahaya biru dengan
tingkat penetrasi yang tinggi justru mampu merangsang hadirnya predator ke arah
sumberr cahaya yang akan menyebabkan cumi-cumi yang telah terkumpul di bawah
lampu akan menyelamatkan diri dan menghilang di daerah gelap (Baskoro dan
Suherman, 2007).
Namun dari hasil penelitian
Hamzah dan Sumadhiharga (1993), menyatakan bahwa setiap jenis cumi-cumi
mempunyai respons yang berbeda-beda terhadap sinar warna lampu yang digunakan.
Contohnya Loligo edulis maupun Loligo singhalensis mempunyai respons
yang berbeda-beda terhadap warna sinar lampu yang digunakan. Loligo edulis bahkan tidak mempunyai
respons yang berbeda nyata terhadap hasil tangkapan. Namun bila dilihat dari
perbandingan jumlah dan berat total hasil tangkapan yang dirinci menurut warna
sinar lampu, ternyata hasil tangkapan Loligo
edulis dengan menggunakan sinar kuning cenderung lebih menguntungkan.
Sementara hasil tangkapan Loligo
singhalensis dengan menggunakan sinar merah adalah efektif dan kemudian
disusul oleh hasil tangkapan warna hijau dan kuning.
3. Posisi dan jenis lampu
Penelitian tentang penggunaan
jenis lampu terhadap efektifitas cahaya dalam penangkapan dilakukan untuk
mendapatkan gambaran jenis lampu yang baik untuk digunakan. Salah satu
penelitian yang telah dilakukan adalah penggunaan lampu petromaks dan lampu
neon (bawah air) terhadap hasil tangkapan ikan kembung (Rastrelliger sp), misalnya dengan alat tangkap mini purse seine di pulau Mandangin,
Sampan Madura menunjukan perbedaan
sumber pencahayaan antara petromaks dan neon memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap hasil tangkapan ikan kembung, di mana hasil tangkapan terbaik
diperoleh dengan menggunakan lampu neon (Baskoro dan Suherman, 2007).
Menurut Picasouw (2005), dibandingkan
dengan penangkapan ikan menggunakan lampu-lampu lain selain petromaks seperti
yang ditempatkan langsung kedalam air, lampu petromaks memiliki beberapa
kelemahan (kekurangan) antara lain :
a.
Memiliki intensitas
yang sangat terbatas,sebab sinarnya terpencar kemana-mana dan yang memancar ke
bawah tidak mempunyai titik fokus yang baik dengan kata lain memiliki radius
lingkaran yang besar;
b.
Sebagian cahayanya
terpantul ke udara;
c.
Membutuhkab waktu
yang cukup lama bila lampuunya mati atau padam;
d.
Lampu petromaks
yang diletakkan di atas permukaan air tidak efektif cahayanya bila air
bergelombang dan dapat menakutkan ikan yang berada di sekitarnya; dan
e.
Hanya dapat
digunakan bila air tenang dan cuaca cerah.
Penelitian selanjutnya tentang
uji coba pengoperasian bagan apung dengan bouke ami di perairan teluk
Pelabuhanratu Sukabumi, Jawa Barat dengan menggunakan lampu bawah air (under
water lamp) yang dikombinasikan dengan 3 buah lampu petromaks menunjukan bahwa
ikan lebih cepat muncul dengan menggunakan pencahayaan ini (Baskoro dan
Suherman, 2007).
2.4. Hasil
Tangkapan
Menurut penelitian
Lee (2010), hasil tangkapan bagan sampel
(6 unit) selama satu bulan terdiri dari 34 jenis ikan, dengan bobot total hasil
tangkapan mencapai 4.139 kg, sehingga rata-rata hasil tangkapan per unit bagan
per bulan adalah 690 kg. Hasil tangkapan bagan dibedakan berdasarkan jenisnya,
yaitu jenis ikan pelagis dan demersal.
Teri (Stolephorus spp)
adalah spesies yang paling banyak tertangkap selama penelitian. Teri yang
tertangkap rata-rata memiliki panjang dan berat total kurang lebih 6,6 cm dan
6,4 gram. Total tangkapan teri (Stolephorus sp) selama satu bulan pada
enam unit bagan adalah 2.546 kg, atau rata-rata per unit bagan sekitar 424
kg/bagan/bulan. Selain teri, ikan tembang (Sardinella fimbriata) juga
mendominasi selama penelitian, dimana rata-rata tangkapannya mencapai 775 kg
atau 129 kg/bagan/bulan. Tembang yang tertangkap rata-rata memiliki panjang
total dan bobot sekitar 9,9 cm dan 11,9 gram. Hasil tangkapan ketiga yang
memiliki dominasi tinggi lainnya adalah ikan pepetek. Pepetek (Leiognathus
sp) yang tertangkap selama satu bulan oleh enam unit bagan adalah 356 kg
atau 59 kg per unit per bulan, ukuran pepetek yang tertangkap rata-rata
memiliki panjang total mencapai 7,8 cm dan berat tubuh rata-rata mencapai 11,3
gram (Lee, 2010).
Menurut Lee (2010),
tangkapan bagan terendah selama penelitian
adalah ikan sebelah (Pseuttodes erumai), ikan ini hanya tertangkap satu
ekor selama uji coba. Minimnya jumlah ikan sebelah (Pseuttodes erumai)
yang tertangkap oleh bagan disebabkan jenis ikan ini adalah jenis ikan demersal
yang hidup di dasar perairan dan hanya sewaktu-waktu melakukan ruaya diurnal
(naik/turun ke permukaan perairan). Selain itu, adanya ikan demersal yang
tertangkap juga disebabkan oleh adanya sikap feeding habit ikan-ikan
demersal yang tertarik oleh kumpulan ikan disekitar bagan.
Tabel 1. Data hasil tangkapan bagan sampel selama satu
bulan
No
|
Spesies
|
Rata-rata
|
Berat Total (gram)
|
Rata-rata/ bagan / bulan (gram)
|
|
Panjang (cm)
|
Berat (gram)
|
||||
1
|
Teri (Stolephorus spp)
|
6,6
|
6,4
|
2.545.810
|
424.301,6
|
2
|
Tembang (Sardinella fimbriata)
|
9,9
|
11,9
|
774.928
|
129.154,6
|
3
|
Pepetek (Leiognathus sp)
|
7,8
|
11,3
|
355.980
|
59.330,0
|
4
|
Kembung (Rastrelliger spp)
|
10,7
|
15,8
|
113.935
|
18.989,2
|
5
|
Cumi (Loligo sp)
|
14,5
|
26,4
|
83.418
|
13.903,0
|
6
|
Japuh (Dussumeria acuta)
|
9,5
|
12,0
|
76.248
|
12.708,1
|
7
|
Golok-Golok (Chirosentrus
dorab)
|
26,8
|
85,3
|
62.507
|
10.417,8
|
8
|
Selar (Selaroides sp)
|
20,2
|
25,7
|
41.358
|
6.892,9
|
9
|
Talang-talang (Chorinemus tala)
|
17,9
|
103,9
|
20.423
|
3.403,8
|
10
|
Selanget (Dorosoma chacunda)
|
9,3
|
31,7
|
18.100
|
3.016,7
|
11
|
Kedukang/ manyung (Arius
thalassinus)
|
18,9
|
218,5
|
7.650
|
1.275,0
|
12
|
Belanak (Mugil spp)
|
12,1
|
47,3
|
6.345
|
1.057,5
|
13
|
Serinding (Apogon spp)
|
7,6
|
8,0
|
6.280
|
1.046,7
|
14
|
Tigawaja (Jonius dussunieri)
|
16,2
|
73,0
|
6.040
|
1.006,7
|
Panjang (cm)
|
Berat (gram)
|
||||
15
|
Sotong (Sepia spp)
|
25,5
|
216,7
|
5.735
|
955,8
|
16
|
Gulamah (Argyrosomus amoyensis)
|
13,5
|
74,7
|
4.290
|
715,0
|
17
|
Bawal hitam (Fermio niger)
|
4,7
|
166,7
|
1.850
|
308,3
|
18
|
Belida (Notopterus chitata)
|
24,3
|
96,0
|
1.560
|
260,0
|
19
|
Kurisi (Nemipterus
nemathoporus)
|
9,9
|
20,4
|
1.440
|
240,0
|
20
|
Rajungan (Portunus pelagicus)
|
11,4
|
83,0
|
1.270
|
211,7
|
21
|
Kerapu (Cephalopholis sp)
|
12,4
|
65,0
|
1.050
|
175,0
|
22
|
Semadar / baronang (Siganus
theraps)
|
10,4
|
21,5
|
995
|
165,8
|
23
|
Sembilang (Plotosus canius)
|
8,0
|
13,1
|
475
|
79,2
|
24
|
Tenggiri (Scomberomorus
commersoni)
|
11,0
|
30,6
|
407
|
67,8
|
25
|
Layur (Trichiurus savala)
|
15,5
|
26,0
|
295
|
49,2
|
26
|
Bawal Putih (Pampus argentus)
|
9,5
|
70,0
|
210
|
35,0
|
27
|
Julung-julung (Hemirhapus far)
|
8,9
|
30,0
|
200
|
33,3
|
28
|
Udang windu (Penaeus monodon)
|
7,8
|
8,6
|
200
|
33,3
|
29
|
Ikan lidah (Cynoglosus lingua)
|
15,5
|
45,0
|
160
|
26,7
|
30
|
Bandeng (Chanos chanos)
|
18,0
|
100,0
|
100
|
16,7
|
31
|
Udang jerbung (Penaeus
marguensis )
|
13,0
|
30,0
|
90
|
15,0
|
32
|
Kakap (Lutjanus
argentimaculatus)
|
7,5
|
25,0
|
50
|
8,3
|
33
|
Kerong-kerong (Terapon therap)
|
11
|
20
|
20
|
3,3
|
34
|
Sebelah (Pseuttodes erumai)
|
16
|
5
|
5
|
0,8
|
Total
|
4.139.423
|
689.904
|
III. PENUTUP
Pengoperasian bagan dimulai
dengan menurunkan atau menenggelamkan waring ke dalam perairan hingga kedalaman
tertentu. Selanjutnya lampu petromaks dinyalakan untuk memikat perhatian ikan
agar berkumpul di sekitar bagan. Apabila kelompok ikan telah terkumpul di pusat
cahaya, sebagian lampu diangkat atau dimatikan agar kelompok ikan yang
terkumpul tidak menyebar kembali. Setelah kelompok ikan terkumpul secara
sempurna maka waring diangkat secara perlahan-lahan. Pada saat waring mendekati
permukaan, kecepatan penangkapan lebih ditingkatkan lagi, selanjutnya ikan
ditangkap dengan menggunakan serok.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
yang dapat mempengaruhi jumlah hasil tangkapan pada
alat tangkap bagan tancap antara lain :
1.
Intensitas
cahaya;
2.
Warna
lampu; dan
3.
Posisi dan jenis
lampu
DAFTAR PUSTAKA
Ayodhyoa, A.U.
1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. 97
hal.
Baskoro, M.S.
1999. Capture Proses Of
The Floated Bamboo-Platform Lift Net With Light Attraction (Bagan).
Graduate School of fisheries, Tokyo University of Fisheries. Doctoral Course of
Marine Sciences and Teknology. 129 pp.
Baskoro, M.S dan Suherman, A.
2007. Teknologi Penangkapan Ikan Dengan Cahaya. UNDIP.
Semarang. 176 hal.
Brandt, A Von.
1984. Fish Cathing
Methodes Of The Word. Fao-Fishing News Books, Ltd. Famham-Surrey-England.
418 pp.
Dahuri, R.
2000. Pendayagunaan Sumber daya Kelautan Untuk Kesejahteraan
Rakyat. LISPI dan DKP. Jakarta. 145 hal.
Hamzah
dan sumadhiharga. 1993. Pengaruh Cahaya
Lampu Terhadap Hasil Tangkapn Cumi-Cumi (Loligo
Sp) Dengan Alat Tangkap “Jigs” Di Teluk Galela, Maluku Utara.Balitbang Sumber
daya Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI Ambon 55-62.
Lee, J.W.
2010. Pengaruh
Periode Hari Bulan Terhadap Hasil Tangkapan Dan Tingkat Pendapatan Nelayan
Bagan Tancap Di Kabupaten Serang. Tesis Program Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Made, S. 2006. Efisiensi
Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Tangkapan Bagan Rambo Di Kabupaten
Barru. UNHAS. Makasar.
Picasouw, John. 2005. Lampu Petromak Sebagai Alat Bantu Penangkapan Ikan. Warta Oseanografi.
Vol. XIX No 3, Juli-September.